“Kak, menurut lo seberapa banyak kasih sayang yang dibutuhin manusia
sampai mereka bisa merasa bahagia?” Azka teringat pertanyaan yang pernah ia
lontarkan pada Rega.
“Sampai orang itu merasa cukup maka dia akan bahagia.” Itu jawaban
Rega.
Azka yang masih tersenyum melanjutkan langkahnya. Semakin cepat. Tak
sabar untuk sampai di antara keluarganya.
“Sekarang
gue udah merasa cukup, Kak. Dan, gue rasa sekarang gue sangat bahagia,” Azka
berbisik dalam hati lalu berhambur ke pelukan keluarganya. …
Nggak butuh
waktu lama memang untuk menyelesaikan 175 halaman novel ini. Awalnya saya nggak
berharap apa-apa sama ceritanya, saya pikir ini sekadar cerita roman ala anak
SMA biasa. Tapi saya salah! Fokus cerita ini bukan di cinta-cintaan anak SMA. Novel
ini menyuguhkan kisah tentang pencarian kebahagiaan dan penerimaan hidup seorang
cowok bernama Azka.
Ketika masih
kelas 6, Azka ditinggalkan Ibunya di depan sebuah panti asuhan. Kata sebentar
yang dijanjikan Ibunya ternyata tidak ia tepati, akhirnya Azka sementara
tinggal di panti asuhan. Setelah pertemuan Azka dengan Pak Wahyu dan anaknya,
Rega, di tepi jalan, Azka diadopsi oleh keluarga itu. Sayangnya, istri Pak
Wahyu, Yanti, tidak menerima dengan tangan terbuka akan kehadiran Azka. Ketika menginjak
kelas 1 SMA, Azka kembali bertemu dengan Nala, yang dulunya juga anak panti. Dengan
tetap melanjutkan rutinitasnya di tengah-tengah keluarga angkatnya, Azka tetap
berusaha untuk mencari Ibunya. Mengetahui kenyataan tentang Ibunya, Azka
memutuskan untuk menjauh dari kehidupan yang ia miliki sekarang.
Yah, itu garis
besar ceritanya, saya nggak akan nyeritain secara detail peristiwa besar apa
saja yang dialami Azka. Temukanlah sendiri kejutan, kehangatan, dan penerimaan yang
dialami oleh Azka di buku ini. Siapa tahu, anda juga ikut tertawa dan terharu
bersama Rega, Azka, dan Nala. Saya nangis di halaman 129 sampai 132. Yang paling
saya cintai dalam novel ini adalah karakterisasinya yang kuat dan konsisten.
Azka yang kaku dan dingin, Rega yang ceria dan penyayang, serta Nala yang cerewet
dan tulus. Saya cinta sama dialog-dialognya. Mereka mengalir begitu saja,
terasa pas dan nggak kaku.
Seperti dialog
di halaman 29 – 30,
“Pagi, Az—“ Nala tak menyelesaikan sapaannya saat melihat Azka sudah
lebih dulu melihatnya dengan mata yang tajam. Nala kemudian hanya tertawa
hambar. Namun, bukannya pergi setelah mendapat sambutan seperti itu dari Azka,
gadis itu justru mendekati mejanya. Ia duduk di kursi kosong di depan meja itu.
Dilihatnya apa yang sedang dilakukan Azka. Seperti biasa, mengerjakan soal
matematika yang bahkan belum mereka pelajari.
“Belajar lagi?”
“Lo kira di sekolah mau ngapain? Gangguin orang kayak yang lo lakuin
barusan?” sahut Azka ketus. Kepalanya kembali mengarah ke buku. Penanya bergerak
menulis angka-angka di antara rumus yang rumit.
“Benar kata orang. Anak yang pendiam kalau udah sekalinya ngomong,
ucapannya pasti bikin sakit hati.”
Azka menghentikan gerak tangannya sejenak karena kaget. Ia tak peduli. Kembali
ia larut dalam dunianya. Nala tak juga beranjak dari sana. Ia memerhatikan
bagaimana cara Azka mengerjakan soal-soal itu. Dilihat terus seperti itu
akhirnya Azka kesal juga. Ia menegakkan tubuhnya seraya membuang napas.
“Bisa nggak, sih, lo nggak ngajakin gue ngomong tiap hari?”
Nala menunjukkan sikap protes lewat wajahnya.
“Mana bisa, Ka? Kita, kan, saling kenal. Terasa aneh kalo nggak saling
bicara.”
“Pura-pura aja nggak saling kenal!”
Walaupun memang
ada beberapa kalimat di dialog yang seperti bahasa tulis, tapi tidak begitu
mengganggu. Di buku ini saya juga cinta
banget sama Rega. Dia adalah sosok yang merepresentasikan apa itu cinta tanpa
syarat sama orang yang tidak sedarah dengan kita. Kasih sayangnya sama Azka, uh…!
Sayang bangeeet!!! Dia yang bikin ayahnya mengadopsi Azka, dia yang selalu
berusaha mendekatkan Azka dengan Ibu angkatnya, dia yang mau merelakan yang dia
sayang buat Azka. Berikut sedikit petikan dialog mereka di halaman 148-149 yang
saya suka;
Rega mendekat, masih tetap mempertahankan tatapan marahnya.
“Lo boleh pergi, tapi… jangan menghilang,” ujar Rega. Wajah marahnya
berangsur berubah menjadi wajah sedih.
“Maafin gue, Kak.” Rega mendecak kesal mendengar permintaan maafnya.
“Apa maaf aja cukup untuk menebus semuanya, Ka?” Azka tak menyahut
“Gue cuma butuh ruang untuk berpikir apa yang benar-benar gue inginkan.
Selama ini gue selalu menerima tanpa tahu apa gue menginginkannya.”
Rega mendecak lagi. “Terserah elo! Lo buktikan aja apa lo mampu hidup
sendirian? Apa lo mampu hidup tanpa orang lain?”
Azka bungkam. Rega tertawa miris lalu memeluk adiknya itu.
“Ingat satu hal. Lo punya rumah untuk pulang. Lo punya keluarga yang menunggu
lo pulang.” Rega melepaskan pelukannya. Bisa dilihat Azka mata Rega yang
berair. Rega menjauh dan kemudian pergi sebelum Azka berpamitan padanya. Azka tak
berusaha menahan Rega. Ia biarkan Rega tanpa mengantarkan kepergiannya.
Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan segan-segan berkomentar :)