Minggu, 01 Februari 2015

Bouteille; baca dan teguk sensasinya!

Bouteille
Gila, gila, gilaaa!!! Aku bahagia baca buku ini! :D rasanya campur aduk, dari yang datar-datar aja, ketawa-ketawa, bahkan nangis, terus senyummm di akhir. Judulnya Bouteille. Botol sih sebenarnya, tapi pakai bahasa Prancis. Sebenarnya saya nggak begitu sreg sama judulnya, susah dibaca –karena nggak tau pelafalan yang bener kayak gimana- di toko buku pun, saya nyari buku ini di komputer lewat nama pengarang, bukan judulnya karena nggak ingat ejaan yang benar kayak apa. Fiksi yang diterbitkan Sheila ini ditulis oleh Aiu Ahra. Aku jatuh suka sama paragraf pertama di sampul belakang buku ini.
“Kak, menurut lo seberapa banyak kasih sayang yang dibutuhin manusia sampai mereka bisa merasa bahagia?” Azka teringat pertanyaan yang pernah ia lontarkan pada Rega.
“Sampai orang itu merasa cukup maka dia akan bahagia.” Itu jawaban Rega.
Azka yang masih tersenyum melanjutkan langkahnya. Semakin cepat. Tak sabar untuk sampai di antara keluarganya.
“Sekarang gue udah merasa cukup, Kak. Dan, gue rasa sekarang gue sangat bahagia,” Azka berbisik dalam hati lalu berhambur ke pelukan keluarganya. …
Nggak butuh waktu lama memang untuk menyelesaikan 175 halaman novel ini. Awalnya saya nggak berharap apa-apa sama ceritanya, saya pikir ini sekadar cerita roman ala anak SMA biasa. Tapi saya salah! Fokus cerita ini bukan di cinta-cintaan anak SMA. Novel ini menyuguhkan kisah tentang pencarian kebahagiaan dan penerimaan hidup seorang cowok bernama Azka.
Ketika masih kelas 6, Azka ditinggalkan Ibunya di depan sebuah panti asuhan. Kata sebentar yang dijanjikan Ibunya ternyata tidak ia tepati, akhirnya Azka sementara tinggal di panti asuhan. Setelah pertemuan Azka dengan Pak Wahyu dan anaknya, Rega, di tepi jalan, Azka diadopsi oleh keluarga itu. Sayangnya, istri Pak Wahyu, Yanti, tidak menerima dengan tangan terbuka akan kehadiran Azka. Ketika menginjak kelas 1 SMA, Azka kembali bertemu dengan Nala, yang dulunya juga anak panti. Dengan tetap melanjutkan rutinitasnya di tengah-tengah keluarga angkatnya, Azka tetap berusaha untuk mencari Ibunya. Mengetahui kenyataan tentang Ibunya, Azka memutuskan untuk menjauh dari kehidupan yang ia miliki sekarang.
Yah, itu garis besar ceritanya, saya nggak akan nyeritain secara detail peristiwa besar apa saja yang dialami Azka. Temukanlah sendiri kejutan, kehangatan, dan penerimaan yang dialami oleh Azka di buku ini. Siapa tahu, anda juga ikut tertawa dan terharu bersama Rega, Azka, dan Nala. Saya nangis di halaman 129 sampai 132. Yang paling saya cintai dalam novel ini adalah karakterisasinya yang kuat dan konsisten. Azka yang kaku dan dingin, Rega yang ceria dan penyayang, serta Nala yang cerewet dan tulus. Saya cinta sama dialog-dialognya. Mereka mengalir begitu saja, terasa pas dan nggak kaku.
Seperti dialog di halaman 29 – 30,
“Pagi, Az—“ Nala tak menyelesaikan sapaannya saat melihat Azka sudah lebih dulu melihatnya dengan mata yang tajam. Nala kemudian hanya tertawa hambar. Namun, bukannya pergi setelah mendapat sambutan seperti itu dari Azka, gadis itu justru mendekati mejanya. Ia duduk di kursi kosong di depan meja itu. Dilihatnya apa yang sedang dilakukan Azka. Seperti biasa, mengerjakan soal matematika yang bahkan belum mereka pelajari.
“Belajar lagi?”
“Lo kira di sekolah mau ngapain? Gangguin orang kayak yang lo lakuin barusan?” sahut Azka ketus. Kepalanya kembali mengarah ke buku. Penanya bergerak menulis angka-angka di antara rumus yang rumit.
“Benar kata orang. Anak yang pendiam kalau udah sekalinya ngomong, ucapannya pasti bikin sakit hati.”
Azka menghentikan gerak tangannya sejenak karena kaget. Ia tak peduli. Kembali ia larut dalam dunianya. Nala tak juga beranjak dari sana. Ia memerhatikan bagaimana cara Azka mengerjakan soal-soal itu. Dilihat terus seperti itu akhirnya Azka kesal juga. Ia menegakkan tubuhnya seraya membuang napas.
“Bisa nggak, sih, lo nggak ngajakin gue ngomong tiap hari?”
Nala menunjukkan sikap protes lewat wajahnya.
“Mana bisa, Ka? Kita, kan, saling kenal. Terasa aneh kalo nggak saling bicara.”
“Pura-pura aja nggak saling kenal!”

Walaupun memang ada beberapa kalimat di dialog yang seperti bahasa tulis, tapi tidak begitu mengganggu.  Di buku ini saya juga cinta banget sama Rega. Dia adalah sosok yang merepresentasikan apa itu cinta tanpa syarat sama orang yang tidak sedarah dengan kita. Kasih sayangnya sama Azka, uh…! Sayang bangeeet!!! Dia yang bikin ayahnya mengadopsi Azka, dia yang selalu berusaha mendekatkan Azka dengan Ibu angkatnya, dia yang mau merelakan yang dia sayang buat Azka. Berikut sedikit petikan dialog mereka di halaman 148-149 yang saya suka;
Rega mendekat, masih tetap mempertahankan tatapan marahnya.
“Lo boleh pergi, tapi… jangan menghilang,” ujar Rega. Wajah marahnya berangsur berubah menjadi wajah sedih.
“Maafin gue, Kak.” Rega mendecak kesal mendengar permintaan maafnya.
“Apa maaf aja cukup untuk menebus semuanya, Ka?” Azka tak menyahut
“Gue cuma butuh ruang untuk berpikir apa yang benar-benar gue inginkan. Selama ini gue selalu menerima tanpa tahu apa gue menginginkannya.”
Rega mendecak lagi. “Terserah elo! Lo buktikan aja apa lo mampu hidup sendirian? Apa lo mampu hidup tanpa orang lain?”
Azka bungkam. Rega tertawa miris lalu memeluk adiknya itu.
“Ingat satu hal. Lo punya rumah untuk pulang. Lo punya keluarga yang menunggu lo pulang.” Rega melepaskan pelukannya. Bisa dilihat Azka mata Rega yang berair. Rega menjauh dan kemudian pergi sebelum Azka berpamitan padanya. Azka tak berusaha menahan Rega. Ia biarkan Rega tanpa mengantarkan kepergiannya.

 Selamat membaca!